Jumat, 02 April 2010


Kain tenun ikat Dayak merupakan salah satu seni budaya yang dikembangkan oleh komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat. Etnis Dayak merupakan etnis tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Mereka tersebar di sebagian besar Kalimantan, Sarawak dan Brunei. Namun tidak semua sub-etnis Dayak ini dapat melakukan kegiatan menenun. Sub-etnis Dayak Iban, Kantuk, Desa, Ketungau dan Mualang di Kalimantan Barat dikenal sebagai penghasil kain tenun tua. Di kalangan kolektor, kain tenun ikat Dayak sering dianggap sebagai salah satu kain terindah yang ada di dunia.
Tenun ikat adalah sebuah teknik menenun dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang telah diikat ini dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini lalu ditenun. Teknik ikat disebut sebut sebagai teknik celup tertua di dunia. (Gillow, 1999)

Pada dengan akhir tahun 1980-an kain tenun ikat sudah semakin sulit dijumpai. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring dengan populernya kain ini di Eropa dan Amerika. Di lain pihak, penenun semakin sulit dijumpai di kampung-kampung. Orang-orang tua yang pintar menenun sudah semakin berkurang, dan keahliannya tidak diturunkan kepada generasi muda. Kain-kain tua hanya bisa dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan nenek moyang yang harus disimpan.

Menghidupkan Kembali Tenun Ikat Dayak

Prihatin akan keadaan ini, pemerintah setempat dan individu (seperti Pastor Jacques Maessen) secara perlahan mulai membangun beberapa kegiatan kecil melibatkan beberapa orang atau keluarga yang masih mau dan tertarik untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Berbagai pendekatan dilakukan, namun perkembangannya terasa lamban karena masyarakat tidak bisa menerima begitu saja arahan dari orang luar untuk mengubah kebiasaan atau pola hidup mereka.

Pada tahun 1999, beberapa organisasi non pemerintah (NGO) membangun kolaborasi (Yayasan KOBUS – PRCF/PRCF Indonesia – YSDK, atas dukungan Ford Foundation) dan mulai terlibat untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun sebagai upaya alternatif untuk meningkatkan pendapatan keluarga, sekaligus untuk melestarikan seni budaya menenun itu sendiri. Upaya ini dibangun melalui suatu program yang dinamakan ”Restorasi Tenun Ikat Dayak”.

Setelah beberapa tahun kemudian, apa yang terjadi? Lain ulu’ lain parang, lain dulu lain sekarang. Sintang kini dikenal karena kain tenun ikatnya. Orang Sintang bangga mengkoleksi dan memakai kain tenun ikat, dan kain bermutu tinggi mudah ditemukan, semudah menemukan komunitas penenun yang begitu bergairah menenun di sela-sela kegiatan sehari-harinya. Bahkan pada tahun 2006 lembaga yang mewadahi kegiatan masyarakat ini, Koperasi Jasa Menenun Mandiri memperoleh penghargaan dari Menteri Perindustrian.

Sebelumnya, pada tahun 2002 program ini menjadi salah satu nara sumber pada Workshop on Best Practice Cases Studies of Regional Development Activities with Local Initiatives yang diorganisasikan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Center for Economic and Social Studies (Cess) di Pontianak, Kalimantan Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar